Program Klaster UMKM dari BRI Buka Peluang untuk Naik Kelas

Program Klaster UMKM dari BRI Buka Peluang untuk Naik Kelas


Purnomo Setiawan membantu pamannya berjualan gulai(MI/M. Ilham Ramadhan Avisena)

PURNOMO Setiawan mulai masuk ke dalam industri kuliner sejak 2003. Saat itu ia berperan membantu pamannya berjualan gulai di tikungan Jalan Mahakam, Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Ia yang merupakan generasi ketiga penjual gulai di kawasan Blok M itu mengatakan, nama gulai tikungan, alias gultik dipopulerkan pada akhir 1990-an oleh anak-anak sekolah di SMA 6 dan SMA 70.

Saat masih membantu pamannya, Purnomo mengatakan penjual gultik di kawasan itu hanya 9 angkring (gerobak pikul). Empat di antaranya mulai berjualan sejak siang hari, sementara lima lainnya berdagang mulai malam hari.

Baca juga : Tidak Hanya Salurkan Kredit bagi UMKM, Pembinaan Juga Jadi Hal Wajib Dilakukan oleh BRI

“Dulu itu pedagang gultik hanya sekitar 9 angkring saja. Yang mulai dari siang itu ada 4, dan saat malam tambah 5 di seberangnya,” kisah Purnomo saat ditemui Media Indonesia di kawasan Blok M, Jakarta, Rabu (27/3).

Dia mulai menjalankan bisnis gultik sendiri pada 2008 setelah pamannya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di Solo. Berbekal pengalaman yang didapat, Purnomo mengatakan ia tak menemukan kendala berarti menggulirkan usahanya itu.

Saat itu modal awal yang dikeluarkan oleh Purnomo tak lebih dari Rp200 ribu. Uang itu ia gunakan untuk membeli bahan-bahan seperti santan, tetelan, hingga nasi untuk dijadikan gulai. Harga sepiring gultik kala itu ialah Rp5 ribu.

Baca juga : UMKM Harapkan Pendampingan dari BRI

Perjalan bisnis gultik Purnomo boleh disebut relatif mulus. Pasalnya saban hari panci gulai yang penuh ia bawa dari rumah selalu kering tak menyisakan tetesan saat kembali dibawa pulang.

Dihantam Pagebluk

Tantangan terberat selama ia menekuni bisnis tersebut ialah saat pandemi covid-19 merebak di Indonesia. Bagaimana tidak, Purnomo dan penjual gulai lainnya tak diizinkan untuk berdagang, pengunjung pun dipastikan tak akan ada imbas pembatasan sosial.

Mau tak mau, kata Purnomo, ia kembali ke kampung halaman ketimbang berdiam diri di Jakarta. “Itu 100% pengaruh ke penghasilan kita, kosong. Sampai akhirnya itu saya pulang kampung, dua tahun saya di kampung selama pandemi,” terangnya.

Baca juga : BPJamsostek Optimistis Capai Rp53,9 Juta Peserta Aktif

Selang dua tahun pagebluk usai, Purnomo memutuskan kembali ke Jakarta dan meneruskan usaha gultiknya. Kekosongan selama era pandemi mulai terisi dengan membanjirnya konsumen setelah pelonggaran pembatasan sosial diberlakukan.

Setiap hari pada saat itu, gultiknya selalu ludes terbeli oleh konsumen. Namun momen di puncak itu tak dirasakan dalam waktu yang lama. Purnomo mengatakan, sejak saat itu pula penjual gultik mulai menjamur di kawasan Blok M.

“Sebelum covid itu, pernah menghitung di wilayah ini baru 17-18 angkring. Sekarang ini sudah 30 lebih, sudah sulit dihitung, jadi naik dua kali lipat. Ini memang jadi tantangan sendiri buat saya. Terus berdatangan generasi baru,” tutur dia.

Baca juga : 12 Nasabah PNM Tingkatkan Keterampilan Dunia Batik Ecoprint

Kondisi tersebut membuat penghasilan yang diperoleh Purnomo sedikit menyusut. Jika dulu ia bisa menjual bersih 6-7 liter gulai, kini untuk menghabiskan tiga liter gulai dirasa cukup sulit.

Modal tiga liter gulai itu, kata Purnomo, dapat menyajikan lebih dari 90 porsi gultik. “Untuk tiga liter itu (modal) kurang lebih sekitar Rp450 ribu, itu bisa untuk minimal 90 porsi. Kalau itu habis semua tinggal dikali Rp10 ribu saja (pendapatan), itu kalau habis,” terang dia.

Sasar Penjualan Daring

Penurunan penjualan itu menjadi kondisi yang menyulitkan bagi Purnomo. Namun hal itu tak menyurutkan semangatnya untuk terus berjualan. Dia bersama dengan tujuh pedagang gultik lainnya berinisiatif untuk bekerja sama membentuk klaster usaha dan mengharapkan dukungan dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.

Baca juga : PNM Hadirkan Bazar Sembako Murah di Bogor

Klaster gultik itu, kata Purnomo, bertujuan untuk meningkatkan daya saing agar tetap bisa bertahan. Purnomo dan anggota klaster lainnya berharap bisa menjual produknya secara daring dan memperluas pasar dengan membuka jasa katering gultik.

“Saya dan teman-teman itu mulai memikirkan untuk gultik yang pesanan seperti itu. Kami yang ada di klaster ini juga sudah jauh lebih dulu menjadi nasabah BRI, menggunakan KUR (Kredit Usaha Rakyat),” jelasnya.

“Saya pribadi baru ambil KUR di Mayestik ini, memang salah satunya digunakan untuk menjalankan usaha gultik ini,” tambah Purnomo.

Baca juga : Melalui Lippo Untuk Indonesia Pasti, LPKR Mengakomodasi Pengembangan UMKM

Melalui klaster usaha itu pula dia berharap ada pendampingan dan dukungan dari BRI agar usaha gultik Purnomo dan anggota lainnya dapat terus berjalan. Di tengah persaingan yang makin ketat, dia juga menginginkan agar gultiknya dapat masuk di pasar daring.

“Terutama supaya bisa masuk ke online, karena memang ingin memperluas pasar. Memang strategi promosi itu kita butuhkan. Ke depan memang kami berencana untuk bisa berjualan secara online, mengikuti perkembangan zaman juga,” terang Purnomo.

Dikutip dari siaran pers, Direktur Bisnis Mikro BRI Supari mengungkapkan, pemanfaatan teknologi digital mampu menjangkau pelaku usaha secara masif untuk meningkatkan kompetensi dan kapasitas pelaku usaha, efisiensi operasional hingga membukakan akses pasar yang lebih luas.

Baca juga : SiCepat Berikan Trik Pemasaran Efisien pada Pelaku UMM Jogja

“Pendekatan holistik program pemberdayaan BRI disesuaikan dengan kebutuhan UMKM menjadi kunci penting dalam mengurai kompleksnya permasalahan pengembangan usaha mikro,” ujarnya.

Melalui percepatan digitalisasi, proses literasi mampu menjangkau lebih luas kepada pelaku usaha mikro dengan memberi banyak manfaat, termasuk efisiensi operasional, meningkatkan produktivitas, memperluas jangkauan pasar, dan meningkatkan daya saing.

Hingga akhir tahun 2023, BRI sebagai bank yang terus berkomitmen kepada UMKM telah memiliki kerangka pemberdayaan yang dimulai dari fase dasar, integrasi hingga interkoneksi. Konsep revitalisasi tenaga pemasar mikro (mantri) yang menjadi financial advisor dengan konsep penguasaan ekosistem suatu wilayah menjadi backbone pelaksanaan.

Baca juga : Go Digital, Go Secure

“BRI memiliki konsep pemberdayaan UMKM secara end to end, yakni pemberdayaan dari fase dasar hingga pengembangan platform berbasis digital yang mampu menjadi solusi pengembangan ekosistem UMKM. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa UMKM mempunyai daya saing dan mampu beradaptasi dengan pasar,” ungkap Supari.

Adapun klasterisasi UMKM merupakan salah satu program besutan BRI, yakni Klasterkuhidupku. Program itu bertujuan untuk memberdayakan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Tanah Air. Program tersebut juga menjadi sarana bagi pelaku UMKM untuk mengembangkan bisnisnya.

Hingga Oktober 2023, program tersebut telah berhasil memberdayakan 19.533 klaster usaha di Indonesia. Program itu juga bertujuan untuk membawa pelaku UMKM naik kelas. Anggota klaster itu juga mendapatkan dukungan berupa pelatihan dan literasi, serta bantuan sarana dan prasarana produksi. (Mir/Z-7)


Posted

in

by

Tags: