Belajarlah dari Krisis Masa Silam

Belajarlah dari Krisis Masa Silam


(Dokpri)

“POLITIK yang baik adalah politik yang bisa dikritik. Birokrasi bagus bila tidak imun dari kritik. Lembaga pemerintah apik bila langkahnya dalam sistem pengawasan yang kritis, benar, akuntabel.” 

Sejarah

Dalam sejarah, suasana konfliktual tak memungkinkan entusiasme ekonomi dan kehidupan bersama. Ini diprediksi Thomas Hobbes (1651) dalam Leviathan bab XIII. Sesudah Perang Dunia I (1914-1917) krisis hebat terjadi di Jerman. Harga satu roti sampai 5 miliar Deutch Mark. Hitler dan tiranisme Jerman menyembul di era krisis hebat ini. Perang Dunia II selesai tahun 1945, ekonomi kacau dan dampaknya krisisnya berlangsung hingga dekade enam puluh-tujuh puluhan. 

Krisis terjadi juga karena kebijakan publik yang buruk. Rhodesia, Venezuela, Srilanka menderita. Rhodesia yang berganti nama Zimbabwe memiliki Presiden Robert Mugabe yang merampas tanah-tanah milik orang orang Inggris dan memberinya ke rakyat. Tapi, rakyat tidak punya semangat bertani dan bisnis. Akibatnya: produk pertanian sedikit, harga-harga mahal dan rakyat tidak bisa membelinya. Mugabe lalu mencetak uang. Dia ingin membantu rakyat, makan gratis. Dampaknya, uang Zimbabwe kehilangan nilai dan tidak berguna. 

Venezuela punya Hugo Chavez, seorang sosialis murni, yang merayu rakyatnya dengan semua serba gratis. Termasuk makan gratis. Rakyat senang sebentar. Setelahnya, juga karena korupsi, Venezuale menyusul Zimbabwe. Kaya sumber minyak, tetapi negara hancur. Politiknya tidak menarik untuk dipelajari. 

Srilanka, belakangan ini, menjadi negara bangkrut. Lagi-lagi itu karena korupsi dan kebijakan buruk dari para pemimpinnya. Sri Lanka dikenal sebagai negara yang hebat membangun bandara-bandara, tetapi dananya dari hutang. Rakyat menjerit.

Krisis di tanah air

Bagaimana Indonesia kita? Indonesia beberapa kali mengalami krisis. Akhir dekade 50an: Krisis konstitusional terkait gagalnya Konstituante. Krisis diatasi dengan kembali ke UUD 1945. Krisis ini berdampak pada krisis demokrasi, politik-ideologis yang disusul dengan krisis ekonomi-sosial di akhir Orde Lama. 

Orde Baru datang dengan dukungan Amerika. Uang bantuan atau pinjaman masuk (seperti juga Amerika membantu Taiwan). Investasi luar biasa. Tetapi itu uang ‘rayuan’, karena Freeport mengeruk kekayaan Papua dan lain-lain. Bangsa kita tidak (tidak mau) menyadarinya. Butuh uang pokoknya.

Di era selanjutnya, Taiwan berkembang, Indonesia ‘kurang’. Mengapa? Karena kita melawan dalil pembangunan yang dikatakan filosof Amartya Sen: “Pembangunan ekonomi terbaik adalah pembangunan manusia” (Indonesia rupanya lebih memilih ideologi dan hal lain). Coba lihat era 1970-an: Indonesia, Singapura, Taiwan kumuh dan kotornya masih sama (di banyak foto dokumentasi). 

Tapi, Indonesia tidak mengambil kebijakan meningkatkan pendidikan. Indonesia malahan lebih memilih memperdalam agama dan consequently, kita kena imbas organisasi teroris trans-nasional bertajuk agama. Indonesia tidak terpuruk, tetapi mengutuk dirinya sendiri dengan membiarkan diri jatuh di kubangan keterpurukan (lebih tepatnya begitu). Keterpurukan ini tidak segera disadari. Sebab, filsafat kesadaran dilarang masuk kurikulum. 

Bagaimana kondisi sekarang? Kita makin dijebloskan ke ‘kolam’ ketidaksadaran baru lewat suapan makan gratis! Dan, sebagian besar percaya itu gratis. Padahalnya, tidak ada yang gratis, semua berasal dari pajak rakyat. 

Uang pendidikan dipangkas, tukin dihentikan, riset-riset ditelantarkan, diskusi distop. Yang jalan cuma omon-omon diretret Magelang untuk para pejabat yang sesudah itu ‘retret’ dilanjutkan ke pengadilan KPK. Karena sering gratifikasi menggiurkan siapa pun. Hutan dibabat. Food estate ditelantarkan. Tanah-tanah dilubangi oleh ormas-ormas lagi (duh!).Tanah-tanah ulayat dirampas. Hutang menggunung. Ujung-ujungnya tata kelola kekayaan negara sungguh mengenaskan. Dan, kita masih mengklaim surga. Sungguh terlalu.

Tetangga (Tiongkok) memajukan dirinya dengan membangun manusianya, menyekolahkan secara besar-besaran anak anak mudanya ke AS, Eropa, dan negara-negara lainnya. (belum pernah ada bangsa di planet ini yang melampaui Tiongkok dalam hal jumlah anak anak muda yang disekolahkan ke luar negeri). Dan, generasi anyar ini langsung membenahi sektor birokrasi dengan susah payah. 

Etika kerja direvisi. Pendidikan dibaharui. Filsafat dikembangkan. Copy paste teknologi dilakukan dengan perbaikan. Sektor pendidikan mendapatkan perhatian dengan budget yang nyaris tak terbatas. Kalau sudah urusan pendidikan, tidak ada hitung-hitungan untung rugi. Karena demi masa depan. 

Tahun 1998 Indonesia mengalami krisis hebat. Mengapa? Karena korupsi, kolusi, dan nepotisme zaman Orde Baru, dan pembangunan difondasikan pada hutang. Nilai Rupiah merosot, karena Soros menarik dollarnya. Runtuhlah nilai uang. Indonesia tiba-tiba tidak punya uang padahal harus bayar bunga hutang dll. Lagi-lagi orang Indonesia masih percaya yang membuat krisis itu George Soros. Dan, kita mempersalahkan Amerika dan Yahudi. Kita menjadi bangsa yang tidak belajar.

Hutang masih dibanggakan dan jadi andalan (merujuk pidato Jokowi terkait investor IKN). Presiden Prabowo di beberapa kesempatan bilang, efisiensi dibutuhkan untuk biaya makan gratis. Mengapa kita tidak belajar bahwa kenyataannya ada banyak PHK dimana-mana, demo terus-terusan, pasar lesu, semangat dunia pendidikan merosot. Dan, kita masih yakin dengan MBG dan efisiensi-efisiensi.

Ndasmu

Para pemimpin, Anda dipilih untuk berpihak pada rakyat, menerjemahkan keadilan untuk rakyat. Ini bukan negeri dari para ndas. Rakyat adalah manusia-manusia berbudi luhur dan bermartabat. Buktinya? Kami berpikir. Kami mengkritik. Kami prihatin. Kami menangis. Kami susah dan susah banget. Kami punya hati nurani. 

Dengarkan suara mereka, simak data-data ekonomi. Anda mau memajukan bangsa, Kendalikan situasinya, revisi program-program politis yang berbiaya tinggi. Bukan pendidikan yang dikorbankan. Jangan mengutuk bangsa sendiri dengan kebijakan-kebijakan yang aneh, nyeleneh, dan tidak berpihak pada rakyat dan pasar. Jangan mensetting krisis di rumah sendiri. Jangan!

Para pakar ekonomi, janganlah diam seribu bahasa! Pakar hukum, meleklah. Para ahli filsafat, menggonggong-lah, kritiklah para punggawa bangsamu, pemimpinmu. Para ahli tata kelola, bantulah bangsa kita, pemimpin-pemimpin bangsa ini. Jangan sampai bangsa ini mengutuk diri sendiri lagi dengan terus tergelincir ke krisis berkelanjutan. Hentikan, kawan! Hentikan krisis ini!


Posted

in

by